Selain organisasi IGI, kemudian di media baru-baru ini muncul wadah organisasi guru lain yang bernama Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Berdiri sekitar awal Januari 2011 yang dideklarasikan di kantor ICW Jakarta. Walaupun masih “bayi”, tetapi kelahiran FSGI ini dibidani oleh beberapa tokoh pendidikan dan aktivis LSM. Ada nama Ade Irawan (ICW), Lodewijk F. Paat (Koalisi Pendidikan) bersama saudaranya Jimmy Paat, ada beberapa aktivis LBH Jakarta seperti Nurcholis. Kemudian oleh beberapa guru yang vokal, diantaranya Retno Listyarti. Sekedar mengembalikan memori publik 5-6 tahun ke belakang. Sebagai guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Retno mengarang buku ajar PKn (SMA), ada redaksi di dalam buku tersebut tentang dissenting opinion putusan hakim terkait kasus korupsi Akbar Tanjung. Pihak Akbar Tanjung mensomasi dan menuntut secara perdata terhadap Retno dan Penerbit Erlangga.
Dari kasus ini nama Retno melejit dan
dikenal publik. Banyak dukungan pada Retno. Secara psikologi politik
peristiwa ini menjadi simbolisasi David versus Goliath. Tokoh besar
negara vis a vis guru SMA. Dalam pesrpektif perang keadaan ini dikenal sebagai Asymmetric Warfare,
perang yang tak sepadan. FSGI ditopang oleh para guru dan aktivis LSM
yang vokal. Secara intelektualpun acap kali FSGI berdiskusi dengan Prof.
H.A.R Tilaar, Utomo Dananjaya (Direktur IER Univ. Paramadina), aktivis
ICW dan LSM Koalisi Pendidikan. Saya melihat beberapa tokoh inilah yang
menjadi ideolog-ideolog di balik layar FSGI.
Dari penjelasan di atas saya ingin
menyampaikan pesan bahwa, betapapun banyaknya orgnasisasi profesi guru,
terpenting adalah organisasi tersebut adalah wadah yang mencerahkan
sekaligus mencerdaskan bagi para guru. Mencerahkan yakni bersama untuk
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas para guru. Mencerahkan pada
masyarakat jika guru adalah profesi yang menarik dan mulia. Profesi guru
mesti dihargai oleh masyarakat dan pemerintah. Kebijakan pemerintah
mesti ramah terhadap kesejahteraann guru. Mengingat masih banyak guru
yang termarjinalkan dan tak dihargai sebagai seorang pendidik oleh
pemerintah. Makanya perlu ada upaya advokasi menyeluruh dari masyarakat
pendidikan.
Sudah bukan zamannya jika hegemoni
negara disalurkan melalui wadah organisasi, apalagi namanya organisasi
guru. Independensi mutlak dipertahankan. Karena negara ini sudah
terlanjur dijalankan oleh para politisi yang mampu mempolitisasi apapun
dan dimanapun. Organisasi guru harus menjaga jarak aman dengan
pemerintah. Namun kritik konstrukstif juga mutlak diberikan untuk setiap
kebijakan pemerintah terkait pendidikan. Bukan menjadi organisasi
mandul dan sekedar lembaga kongkow-kongkow. Pelibatan guru dalam proses kebijakan pendidikan bukan lagi utopia
semata, tetapi beralih menjadi fakta. Terpenting juga adalah organisasi
guru bukan wadah untuk beraliansi secara politis atau arena politik
praktis bagi para guru. Konsekuensinya adalah organisasi guru haram
untuk berafiliasi dengan partai politik apapun.
Satu hal yang juga penting adalah,
organisasi guru (apapun bentuk dan namanya) mesti bukan tempat pelarian
para tokoh, pejabat & mantan pejabat, politisi dan pensiunan untuk
berorganisasi. Bukan pula tempat untuk penyucian dosa agar dilihat
bermanfaat bagi masyarakat. Atau arena bagi mereka yang orientasinya
ingin populer dan dikenal oleh publik. Organisasi profesi guru harus
menyentuh urat nadi para pendidik di republik ini. Bukan lagi arena
politis untuk menyiapkan seseorang menjadi kepala sekolah, kepala dinas
pendidikan atau anggota legislatif. Pelibatan guru sampai pada tingkat grass root
mutlak adanya, bukan sekedar menarik iuran-iuran wajib yang akhirnyapun
dikorupsi. Organisasi guru adalah kumpulan para resi yang tak lagi
bertapa di kahyangan, namun sudah turun ke dunia nyata untuk membereskan
kerusakan moral anak bangsa.
ConversionConversion EmoticonEmoticon